Asal-usul Perkembangan Homeschooling atau Sekolah Rumah
Pendidikan homeschooling atau sekolah di rumah telah berkembang di Indonesia.
Pendidikan ini berlangsung dalam lingkungan keluarga bukan di tempat formal sekolah.
Mengutip dari Perkumpulan Homeschooler Indonesia, pada abad ke-16 di Jerman, pihak gereja mengeluarkan kebijakan wajib bagi semua anak untuk bersekolah.
Kebijakan ini diambil akibat dorongan tokoh Protestan, Martin Luther yang bertujuan untuk menyeragamkan sudut pandang warga negara soal agama.
Adanya kebijakan itu, orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya akan dihukum atau denda.
Sistem sekolah pun semakin ketat hingga diklasifikasikan setiap jenjang dan kelas.
Saat negara-negara Eropa mulai menjelajah seluruh dunia sambil menyebarkan sistem pendidikan ini di negara-negara jajahannya.
Mengutip dari publikasi Homeschooling dalam jurnal terbitan Sekolah Tinggi Theologia Nazarene Indonesia (STTNI) menjelaskan, perkembangan homeschooling muncul di Amerika Serikat.
Sistem pendidikan ini telah dikenal sejak seorang pendidik dan penulis, John Caldwell Holt mengajukan kritik.
Ia mengkritik sistem pendidikan formal yang berjalan di Amerika Serikat saat itu dalam bukunya yang berjudul How Children Fail (1964).
Holt tidak secara langsung mendorong untuk membentuk sistem pendidikan alternatif.
Tapi pemikiran ini telah memicu banyak kalangan untuk memikirkan ulang mengenai pendidikan di sekolah formal.
Merujuk Perkumpulan Homeschooler Indonesia, sejalan dengan pemikiran Holt, seorang guru bernama Raymond Moore melihat pentingnya peran orang tua sebagai otoritas pendidik pertama dan utama dari anak-anak mereka.
Moore mendapati, bergaul secara intens dengan teman sebaya rentan merusak anak karena adanya tekanan sosial rekan sejawat atau peer pressure Di Indonesia, homeschooling dikenal ketika diselenggarakan deklarasi Asosiasi Sekolah Rumah dan Sekolah Alternatif atau Asah Pena pada 4 Mei 2006 di Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Adanya lembaga ini bertujuan untuk mengoordinasi berbagai kegiatan persekolahan di rumah dan pendidikan alternatif.
Itu termasuk memberikan pelatihan dan informasi mengenai cara penyelenggaraan homeschooling dan memfasilitasi peserta didik atau homeschooler untuk ikut dalam ujian kesetaraan.
Konteks itu dinilai sejalan dengan Pasal 29 C Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Isinya, setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya.
Homeschooling telah memiliki dasar hukum di Indonesia.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.