Arcandra Tahar Bandingkan Harga Energi Dunia yang Melonjak dengan Krisis Energi 1970

Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arcandra Tahar menilai krisis energi yang melanda dunia hari ini merupakan krisis multidimensi yang tidak pernah terjadi dan terpikirkan sebelumnya.

Ia pun membandingkan kondisi sekarang dengan situasi pada saat krisis energi tahun 1970-an.

“Bagaimana tidak, pada saat krisis energi tahun 1970an hanya punya satu dimensi yaitu terganggu suplai minyak dari Timur Tengah ke Amerika Serikat,” ujarnya melalui akun Instagram pribadinya @arcandra.tahar, dikutip pada Ahad, 13 November 2022.

Ia bercerita solusi yang dijalankan oleh pemerintah Amerika Serikat waktu itu lebih sederhana, yakni mengurangi ketergantungan impor minyak dengan cara melakukan eksplorasi dan produksi minyak di dalam negeri sendiri.

Menurutnya, strategi itu berjalan baik, terlihat dari naiknya produksi minyak di Amerika Serikat.

Bahkan ia menilai saat ini produksi minyak Amerika Serikat lebih besar ketimbang produksi minyak Arab Saudi.

Kalau kita telaah lebih dalam, tutur Arcandra, krisis energi sekarang tidak saja menyangkut masalah minyak tapi juga menjalar ke masalah gas alam, batubara, kelistrikan dan pangan.

Ditambah isu perubahan iklim yang juga erat kaitannya dengan krisis energi saat ini.

Kerumitan itu lah yang menurutnya sedang melanda dunia setelah munculnya optimisme akan terkendalinya wabah Covid-19.

Ia menjelaskan kondisi tersebut berbeda dengan krisis energi tahun 1970an, dimana saat itu hanya melanda negara Amerika Serikat.

Sementara krisis yang terjadi saat ini terjadi di banyak negara di Eropa.

Menurut dia, salah satu faktor utama dari krisis Eropa adalah suplai gas yang tidak mencukupi kebutuhan selama musim dingin akibat perang Rusia dan Ukraina.

Embargo terhadap komoditas energi dari Rusia yang dilakukan oleh negara-negara Barat, menurut Arcandra, berbalik arah menjadi sebuah krisis energi yang melanda Eropa.

Beberapa negara melakukan langkah aksi dengan menghidupkan kembali PLTU dan memperpanjang masa pengoperasian PLTN yang semula dijadwalkan untuk pensiun.

Artinya, kebutuhan Eropa terhadap batubara akan naik.

“Sayangnya kebutuhan batubara yang selama ini di suplai oleh Rusia juga terhenti akibat embargo oleh EU sendiri,” tuturnya.

Arcandra mengatakan yang menjadi pertanyaan adalah kalau sudah menjadi BBM dan diperdagangkan oleh trader, apakah mungkin Indonesia bisa mengidentifikasi bahan bakar minyak (BBM) ini berasal dari kilang mana.

Ibarat rumah makan Padang, kata dia, kalau sudah menjadi rendang apa mungkin kita mengetahui secara pasti rendang ini dibuat oleh restoran mana.

Maka, ia mengungkapkan perlu keahlian khusus untuk menelusurinya dan hal tidak mudah.

Sementara ada dua peristiwa yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan.

Pertama, batas akhir yang diputuskan oleh Uni Eropa untuk menghentikan seluruh impor minyak mentah dari Rusia ke negara-negara Eropa akan segera diumumkan pada Desember 2022.

Sementara pada September 2022, Eropa masih mengimpor minyak mentah sebesar 2.6 juta barel per day (bpd) dari Rusia atau sekitar 2,6 persen kebutuhan minyak dunia.

Peristiwa kedua adalah pengumuman batas akhir yang diputuskan oleh Uni Eropa untuk menghentikan seluruh impor BBM dari Rusia ke negara-negara Eropa pada Februari 2023.

Ia menuturkan dua peristiwa yang kemungkinan besar akan terjadi tentu akan berdampak terhadap harga energi ke depan.

Masing-masing negara akan mencermati dan memitigasi risiko-risiko yang mungkin muncul akibat dari dua peristiwa itu.

Menurutnya, pemerintah menyimak dan belajar pada strategi OPEC+.

Bisa jadi, tutur Arcandra, OPEC+ tetap pada keputusan untuk menurunkan volume produksi pada bulan-bulan kedepan yang belum tentu sejalan dengan strategi negara-negara barat.

Ditambah antar negara barat sendiri, terutama Eropa dan Amerika Serikat juga memiliki perbedaan strategi dalam menghadapi krisis multidimensi ini.

“Semoga situasi yang kini terjadi di Eropa dan gejolak energi dunia yang belum pasti kapan akan berakhir ini, menjadikan kita belajar dan menyiapkan strategi energi yang lebih baik, sehingga menguntungkan seluruh masyarakat,” ucapnya.

RIANI SANUSI PUTRI Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Jokowi Dorong ASEAN dan Cina Cegah Krisis: Pertama yang Ditangani Ketahanan Pangan
Next post Terkini Bisnis: Rencana PLN dan Amazon Bangun PLTS, Dampak FTX Bangkrut